Senin, 12 Oktober 2015

 

Satu Gumuk dari MAPENSA untuk anak Cucu

Kabupaten Jember terkenal dengan istilah kota 1000 gumuk. Gumuk tersebut merupakan sisa aliran debris flow yang mengalir turbulen dan diendapkan secara en masse freezing di bagian hulu dan menerus sampai hyperconcetrated-flow dan dilute stream-flow. Endapan debris-flow didominasi komponen berukuran kerakal sampai bongkah dengan komponen raksasa yang selalu hadir. Endapan hyperconcetrated flow didominasi butiran berukuran kerikil, sedang bongkah dan kerakal hanya sebagai komponen mengambang. Ukuran komponen kerakal sampai bongkah untuk jenis debris-flow atau kerikil untuk jenis mud-flow. Komponen endapan penyusun berasal dari tubuh gunungapi hasil beranekaragam erupsi berupa rempah lava dan breksi vulkanik dengan bentuk komponen membulat tanggung sampai menyudut (E. T Paripurno).
Debris-flow merupakan fluida plastis yang mengikuti kaidah Bingham Plastic, yaitu diasumsikan sebagai aliran massa rigid dan tidak mengikuti kaidah Newton. Mekanisme pendukung butirannya disebabkan oleh adanya daya dukung matrik yang bekerja padanya. Keduanya umumnya bersifat kohesif karena adanya matriks yang mengandung lumpur lebih dari 20%. Partikel-partikel lumpur tersebut merupakan suspensi penyangga komponen ketika massa bergerak. Karena sifatnya yang kohesif maka padanya terjadi proses en masse freezing.
Kabupaten Jember seluas 3.293,34 km2 merupakan daerah cekungan dengan batas sebelah Utara adalah Pegunungan Hyang dengan puncaknya Gunung Argopuro (3.088 m dpl), sebelah Timur adalah Pegunungan Raung dengan puncaknya Gunung Raung (3.332 m dpl), sebelah Selatan berupa dataran rendah, dan sebelah Barat adalah Pegunungan Semeru dengan puncaknya Gunung Mahameru (3.676 m dpl). Daerah cekungan yang dikelilingi oleh pegunungan vulkanik aktif menyebabkan Kabupaten Jember beriklim tropis dengan suhu udara harian antara 23OC – 32OC dengan curah hujan tahunan antara 1.969 mm – 3.394 mm. Curah hujan yang turun di Cekungan Jember mengalir melalui tiga sungai besar, yaitu Sungai Bedadung yang berhulu di Pegunungan Hyang, S. Mayang yang berhulu di Pegunungan Raung dan S. Bondoyudo yang berhulu di Pegunungan Semeru. Musim kemarau terjadi pada bulan Mei sampai Agustus dan musim hujan terjadi pada bulan September sampai Januari.
Pegunungan vulkanik yang masih aktif sampai saat ini menjadikan ekosistem wilayah Jember mempunyai bentang alam (landscape) yang unik dan spesifik, yaitu dengan keberadaan sejumlah gumuk (bukit kecil). Jumlah gumuk tidak pernah terinventarisasi dengan resmi, namun jumlahnya diperkirakan lebih dari 1.000 buah gumuk, sehingga Kabupaten Jember juga dijuluki sebagai ”Kabupaten Seribu gumuk” sebagai ciri spesifik yang tidak dijumpai di wilayah lain di Indonesia. Formasi gumuk di wilayah Jember terbentuk dari aliran lava gunung berapi, terutama Gunung Raung yang berlangsung selama beberapa abad, karena letusan Gunung Raung mulai tercatat Tahun 1586 sampai sekarang. Hal ini dapat dilihat dari ukuran gumuk, dimana di beberapa kecamatan di kaki Pegunungan Raung, tinggi gumuk dapat mencapai 50 m dengan luas bidang dasar mencapai 4,0 km2 dengan jarak yang relatif rapat, seperti dijumpai di Kecamatan Sukowono dan Sumberjambe. Sedangkan, ukuran gumuk yang jauh dari Pegunungan Raung tingginya hanya berkisar antara 1,0 sampai 2,0 m dengan luas bidang dasar 0,1 km2 dengan jarak yang relatif jauh, seperti dijumpai di Kecamatan Wuluhan dan Kencong.
Pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kebutuhan akan lahan untuk produksi pangan maupun permukiman, menjadi salah satu faktor yang signifikan penyebab menurunnya kualitas dan kuantitas gumuk. Interaksi antara manusia dan lingkungannya seringkali berjalan tidak seimbang, dimana manusia bersifat eksploitatif serta tidak lagi bersifat saling menguntungkan tetapi manusia bersifat parasit. Seperti sebagian manusia yang tinggal di wilayah Kecamatan Sumbersari dan Arjasa, Kabupaten Jember yang eksploitatif terhadap ekosistem gumuk. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Jember sebesar 2,11% per tahun menyebabkan ruang wilayah kabupaten semakin terbatas dalam mendukung kehidupan dan terselenggaranya pembangunan berkelanjutan. Dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih dari 6,0% per tahun menyebabkan kebutuhan akan permukiman juga semakin besar. Sebaliknya, pendapatan per kapita masyarakat masih cukup rendah sehingga memerlukan sumber kegiatan ekonomi yang dapat meningkatkan pendapatan dalam waktu pendek.
Pengembangan wilayah permukiman di wilayah Kabupaten Jember banyak yang mengorbankan keberadaan formasi gumuk, seperti Perumahan ”Gunung Batu” dan Perumahan ”Istana Tidar Regency”. Gumuk juga ditambang oleh masyarakat untuk diambil bahan tambang ”golongan C”-nya, seperti pasir, tanah urug dan batu piring. Pembangunan wilayah permukiman dan penambangan mengakibatkan beberapa formasi gumuk hilang, walaupun bahan tambang tersebut memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Dampak negatif penting dengan hilangnya formasi gumuk adalah hilangnya sumber air yang sangat penting bagi keberlangsungan sistem budidaya tanaman di sekitar formasi gumuk.
Ekosistem gumuk, secara fungsional mempunyai peranan yang sangat besar bagi kehidupan manusia, yaitu: fungsi ekologis, fungsi ekonomis, fungsi sosial, dan fungsi estetik. Konservasi formasi gumuk dapat didefinisikan sebagai pengelolaan formasi gumuk yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan fungsinya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keragaman dan nilainya. Konversi formasi gumuk dapat didefinisikan sebagai pemanfaatan potensi ekosistem gumuk, keadaan iklim, fenomena alam dan kekhasannya yang berada di suatu kawasan untuk kegiatan selain konservasi secara permanen.

MAPENSA, sebagai salah satu Pencinta Alam yang ada di Jember berusaha untuk menyelamatkan gumuk yang ada di Jember. Sampai saat ini MAPENSA hampir memiliki sebuah Gumuk yang berada di Desa Antirogo. Kenapa hampir? Karena gumuk yang dimiliki MAPENSA saat ini dulunya merupakan milik perseorangan (seperti gumuk-gumuk lainnya), jadi sebuah gumuk dimiliki oleh beberapa orang dan hingga saat ini baru ¾ dari gumuk tersebut yang telah menjadi milik MAPENSA. Semuga secepatnya MAPENSA mampu memiliki sebuah gumuk dan dikemudian hari MAPENSA mampu memiliki beberapa gumuk. MAPENSA membeli gumuk tidaklah dimaksudkan untuk ditambang melainkan untuk menyelamatkan dan menyediakan tempat untuk koleksi tanaman (baik langka maupun produksi) milik MAPENSA untuk hidup. Dan bila suatu saat smua gumuk yang ada di Jember telah ditambang ataupun dieksploitasi maka masih akan ada gumuk MAPENSA. Walau mungkin MAPENSA tidak mampu memiliki banyak gumuk, namun MAPENSA mampu menyelamatkan minimal 1 gumuk yang nantinya, mungkin, akan menjadi cerita dan legenda bagi masyarakat Jember.

Selain MAPENSA teman teman Save gumuk di Jember pun sedang mengumpulkan dana untuk membeli sebuah gumuk sebagai wujud untuk menyelamatkan gumuk dari tangan investor. Dimana Save gumuk ini dirintis oleh para remaja pers yang mulai khawatir dan peduli terhadap lingkungan.

Penulis : Orchid
Share:

Senin, 22 Juni 2015

 

Mengenal Kawasan Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Yang, Argopuro

            Secara geografis kawasan Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Yang terletak diantara 7o56’45”-7o41’22”LS dan 112o38’38”-112o39’11” BT. Berdasarkan ketinggian tempatnya, kawasan ini terletak pada ketinggin antara 1900-3088 mdpl. Luas kawasan Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Yang yang berdasarkan Surat KeputusanMenteri Pertanian Agraria No. SK/12/PA/1962 tanggal 5 Mei 1962 adalah 14.145Ha. Namun berdasarkan pengukuran penataan batas pada tahun 1986, luas kawasanSM. Dataran Tinggi Yang menjadi 14.177 Ha dan ini diperkuat dengan suratKeputusan Menteri Kehutanan No. 680/Kpts-II/1990 tanggal 19 November 1990.

            Peraturan daerah Propinsi Jawa TimurNo. 4 tahun 1996 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat IJawa Timur tahun 1996/1997-2011/2012 ddan Surat Keputusan Menteri Kehutanan danPerkebunan No. 417/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 mempertegas bahwa kawasanArgopuro atau Dataran Tinggi Yang adalah KAWASANKONSERVASI.

            Kawasan Pegunungan Yang terbagimenjadi tiga tipe iklim menurut klasifikasi tipe iklim Schmidt & Fegusson,yaitu tipe iklim B untuk kawasan sebelah selatan, tipe ikli C untuk kawasansebelah barat dan timur, dan tipe iklim D untuk kawasan sebelah utara. Suhuberkisar antara 3o-10oC pada malam hari dan antara 17o-27oCpada siang hari, kondisi ini relatif dingin mengingat kawasan Pegunungan Yangmempunyai ketinggian 3000 mdpl.

            Secara administrasi pengelolaanKawasan Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Yang terbagi menjadi dua bagian yaitubagian barat dikelola oleh Resort KSDA Probolinggo Timur yang berada dalamwilayah Seksi Konservasi Wilayah I probolinggo. Sedangkan Suaka Margasatwabagian timur dikelola oleh Resort KSDA Situbodo Barat yag berada dalam wilayahkerja Seksi Konservasi Wilayah II Jember. Kedua Seksi Konservasi tersebut beradadibawah Balai KSDA JaTim II.

            Kawasan Pegunungan Yang seluas14.177 Ha, secara administratif masuk kedalam 4 wilayah pemerintah kabupaen,yaitu kabupaten Situbondo (seluas 1.085 Ha), Probolinggo (seluas 7.452 Ha),Jember (seluas 4.365 Ha), dan Bondowoso (seluas 1.275 Ha). Kawasan yanglangsung berbatasan dengan Pegunungan Yang adalah 6 wilayah pemerintahan Desa,yaitu desa Baderan Kec. Sumber Malang Kab. Situbondo, desa Bremi Kec. KrucilKab. Probolinggo, Desa Pakis dan Desa Kemiri, Kec. Panti Kab. Jember, DesaManggisan Kec. Tangguk Kab. Jemberm dan Desa Pakuniran Kec. Maesan Kab.Bondowoso.
            Secara umum vegetasi Pegunungan Yang termasuk kedalam vegetasi hutan hujan tropis dataran tinggi. Beberapa ekosistemnya antara lain ekosistem savana yang terkenal adalah alon-alon besar(Cikasur), danau/rawa (Taman Hidup, Danau Tunjung), dan hutan hujan tropisdataran tinggi (hutan cemara, edelweis). Jenis fauna yang banyak dan mmudahdijumpai adalah rusa timor, babi hutan, burung merak, ayam hutan, elang, lutungjawa, dan berbagai jenis burung berkicau. Sementara jenis fauna lainnya adalahmacan tutul, ular, kijang dan macan hutan.

Sumber:
Soedradjad,R. 2005. Ekologi Kawasan Pegunungan Yang.Jember. MAPENSA.

Purwanto,Ali. 2005. Pengelolaan Suaka Margasatwa DataranTinggi Yang. Jember. MAPENSA.

MAPENSA.2005. Sosialisasi Data Lintas PegununganYang V. Jember. MAPENSA.

Penulis : Orchid
Share:

Senin, 08 Juni 2015

 

Burung Bangu, Pelatuk Besi dan Paruh Sendok



Burung air adalah burung yang hidup dan tinggal di daerah perairan. Perairan yang dimaksud adalah daerah-daerah rawa, paya, hutan bakau/hutan payau, muara, suangai/estuaria, danau, sawah, sungau/bendungan dan pantai. Dalam bahasa Inggris burung air kadang-kadang disebut sebagai Waterbird tetapi sering juga disebut Waterfowl. Konvensi Ramsar mendefinisikan burung air sebagai Jenis burung yang secara ekologis kehidupannya bergantung kepada keberadaan lahan basah. Berdasarkan definisi tersebut burung Bangau, Pelatuk Besi dan Paruh Sendok masuk kedalam kelompok burung air. Ciri lain dari burung Bnagau, Pelatuk besi dan Paruh Sendok adalah kaki yang tidak berbulu, jari kaki ramping dengan ujung runcing, jari kaki tidak berselaput, sayap lebar dan membalut dan berekor pendek.untuk membedakan individu dewasa dan muda dapat dilakukan berdasarkan perbedaan warna bulu. Dilihat dari populasinya, dengan berpedoman kepada batasan definisi burung air, sampai saat ini di Indonesia tercatat 184 jenis burung air yang berasal dari 20 Famili. Diantaranya adalah burung Bangau dari Famili Ciconiidae, Pelatuk besi dan Paruh sendok dari Famili Threskiornithidae.
Burung bangu (Stork), burung pelatuk besi (ibis) dan burung paruh sendok (spoonbill) merupakan burung air dari ordo Ciconiiformes. Mereka umumnya mudah dikenali berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki antara lain : ukuran tubuhnya besar, kaki dan paruh panjang yang disesuaikan dengan cara hidup mereka, yaitu berjalan  diperairan dangkal. Dari sekitar 20 jenis burung bangau (Famili Ciconiidae) ang ada di dunia, 5 jenis diantaranya diketahui hidup di Indonesia, yaitu Wilwo Mycteria cinerea (milky Stork), bangau tongtong Leptoptilas javanicus (Lesser Adjutant), Bangau hutan rawa Cocinea stormi (Storm’s stork), , Sindang lawe Ciconia episcopus (Black-necked stork),. Dua jenis bangau yang pertama telah termasuk ke dalam daftar burung yang jumlahnya merosot sehingga tergolong rentan (Vulnerable), sedangkan jenis yang ketiga tergolong genting (endengered) dalam Bird to Watch 2.
Sementara itu, dari kira-kira 26 jenis burung pelatuk besi (Famili Threskiornithidae) yang ada di dunia, 5 jenis diantaranya tercatat di Indonesia, yaitu Bera Threskiornithidae molucca (White Ibis), Pelatuk besi kepala hitam Threskiornis melanocephalus (black-headed Ibis), Roko-roko Plegadis falcinellus (Glossy Ibis), Cum Bera Threskiornis spinicollis (Straw-necked Ibis), dan Pelatuk Besi bahu putih Pseudibis davisoni (White-shouldered Ibis), yang telah terancam dalam Birds to Watch 2 dengan kategori genting (endengared).
Dari jenis-jenis burung Paruh sendok (Famili Threskiornithidae), di seluruh dunia terdapat hanya 6 jenis saja, dimana 1 jenis diantaranya terdapat di Indonesia, yaitu jenis Paruh Sendok Raja Platalea regia (Royal Spoonbill).
#Wetlands. #1996
Penulis : Orchid
Share:

Jumat, 22 Mei 2015

 

Berkenalan dengan Bidadari Bersayap Biru

Kali ini kita akan berkenalan dengan makhluk cantik bersayap, eits bukan bidadari atau bidadara ya, tapi makhluk yang bisa kita lihat dengan mata kepala dan tersebar luas dari 0 mdpl sampai ribuan mdpl. Siapa lagi kalau bukan Burung kiki emotikon . Burung pertama yang kita ajak kenalan yaitu burung dengan ukuran tubuh cukup kecil (14 cm), berwarna biru nila gelap (warna utama), paling gelap,nyaris hitam disekitar pangkal paruh. Dahi keputih-putihan,meluas menjadi alis diatas mata. dada bawah keabu-abuan, berangsur-angsur berubah menjadi keputih-putihan pada perut. Tungging kuning tua (putih pada burung Jawa). Remaja : dada dan tenggorokan berbercak merah jambu. Iris coklat merah, paruh dan kaki hitam. Suara : Seri panjang terdiri dari cicitan "fi-fu_fiu_fi-fiii..." Penyebaran global dari burung ini yaitu endemik di Sunda Besar. Burung ini tercatat di G. Kinabalu, G. Murud, G. Mulu, dan Kayan Mentarang. Cukup umum didaeah perbukitan dan pegunungan, antara ketinggian 900-3000 mdpl, namun burung ini tidak tercatat di Bali.Kebiasaan dari burung ini yaitu hidup di hutan gelap dipegunungan tetapi cukup jinak dan mudah didekai. umumnya bertengger rendah, dekat tanah, suka ikut kelompok campuran. Pada kegiatan LPH V yang diadakan di pegunungan Hyang argopuro oleh MAPENSA (Mahasiswa Pencinta Alam Semesta) berhasil menemukan 4 ekor burung ini.
Semoga ketika kita berkunjung di Argopuro kita masih diberi kesempatan untuk menikmati ketampanan dari burung-burung yang ada disana.


Penulis : Orchid
Share:
 

Berkenalan dengan salah satu vegetasi yang ada di TN Meru Betiri

Anggur hutan (Vitis sp) atau masyarakat lokal disekitar kawasan biasa menyebutnya dengan "Malingan" banyak ditemukan di dalam kawasan hutan TNMB, khususnya di Resort Wonoasri. beberapa lokasi yang pernah teridentifikasi penulis pada saat patroli antara lain : blok Katesan (arah menuju curah sepur), Gebangan, watu lemper, Kombong, Apolo, arah menuju pantai nanggelan.
tumbuhan berbentuk semak,berumur panjang (parenial), akar tunggang, buah bergerombol dengan jumlah lebih dari 50 butirpada nodus, namun tidak smua nodus menghasilkan buah, buah muda berwarna hijau mengkilap dan yang sudah tua berwarna hijau kecoklatan, dapat dimakan serta berasa masam, batang tumbuhan ini mampu mencapai panjang lebih dari 10 m dengan merambat pada pohonan atau biasa ditemukan dihutan menjalar pada vegetasi bambu, batang berkayu, berbentuk silindris, berwarna kecoklatan, dan permukaannya kasar. daun tunggal, tersusun berseling (alternate), warna hijau, bentuk bundar panjang, helaian daun tipis tegar, pangkal berlekuk (emerginatus), tepi bergigi runcing (dentatus) pertulangan menjari, permukaan daun berbulu (villosus), tulang daun menjaari.
Kingdom : Plantae, Divisi : Magnoliophyta, Kelas : Magnoliopsida, Ordo : Rhamnales, Famili : Vitaceae, Genus : Vitis, Spesies : Vitis sp
Sumber : Jejak Betiri, 5(1) : 2-48


Penulis : Orchid
Share:
 

Secuil‬ ‪Kisah‬ ‪Argopuro‬ ‪dan‬ ‪LPH‬ ‪V‬


Mendaki gunung sepertinya sudah umum dan wajar ya untuk sekarang ini. Sekarang tidak perlu mengikuti diklatsar di sebuah organisasi pencinta alam untuk dapat mendaki gunung. Cukup berbekal uang, karena sekarang banyak toko yang memfasilitasi para pecandu ketinggian dengan menyewakan alat-alat outdoor. Namun sepertinya masih belum umum kalau mendaki tetapi bersifat konservasi atau melakukan hal yang dirasa gak penting oleh banyak orang namun sebenarnya berpengaruh besar bagi banyak orang, seperti pengamatan burung. Begitu pula dengan mendaki Pegunungan hyang, Argopuro.

Yang umum saat ini yaitu membuat vandalisme di ketinggian sana dengan cara menulis nama kita diatas batu, dipohon atau dipos-pos pendakian, agar dibaca banyak orang yang sebenarnya akan menimbulkan sebuah umpatan bahkan sumpah serapah dari orang-orang yang membacanya. Sebenarnya kalau ingin membuat vandalisme yang lebih keren daripada sekedar menuliskan nama di batu ataupun pohon bahkan di pos-pos diketinggian sana, lebih keren dan berkelas ketika kita membuat vandal dengan menampilkannya dalam bentuk laporan ilmiah. Aku baru mempelajarinya dari organisasi yang aku geluti sekarang. Disini aku belajar membuat vandal yang lebih berkelas dari sekedar membuat nama di ketinggian sana.

Pada tahun 2013, organisasi yang aku ikuti mengadakan sebuah acara yang cukup menarik yaitu Lintas Pegunungan Hyang V di Pegunungan Hyang, Argopuro. Mungkin akan banyak yang bertanya, apakah itu LPH V? LPH V yaitu kegiatan mengamati burung di Pegunungan Hyang, Argopuro. Kenapa mesti burung yang diamati? Bukankah burung itu susah dan kecil? Kenapa tidak mencari yang lebih besar? Karena burung merupakan salah satu indikator lingkungan yang tersebar luas mulai dari 0 Mdpl sampai ribuan Mdpl. Bagi yang belum pernah melakukan pengamatan burung maka akan merasa susah dan gak penting. Padahal kalau sudah terbiasa dan sering berinteraksi dengan hewan tampan bersayap ini maka akan jatuh cinta dengan keelokan bulu dan tingkah lakunya. Salah satu contohnya yaitu ketika menikmati kepakan sayap merak hijau yang sedang terbang di Cikasur.

Kegiatan ini dimulai pada tanggal 19 Juni 2013, dimana kita menegakkan langkah untuk melakukan pengamatan burung dari Plot 1 Baderan sampai plot 8 Baderan. Cukup melelahkan memang, apalagi untuk yang baru pertama kali melakukan kegiatan pendakian gunung. Kitapun memutuskan untuk beristirahat semalam di giras (mata air 1). Keesokan harinya langkahpun berlanjut menuju ke savana luas yang dikelilingi oleh bukit teletubbies yang bersanding dengan lavender ungu dan sungai qolbu, iya, Cikasur. Sepanjang jalan yang Kita lewati adalah bukit-bukit, bahka ada yang bernama bukit cemara karena disinilah cemara bergerombol banyak, ya kalau di Semeru maka bisa dikatakan ini adalah Cemoro Kandang. Cuma bedanya disini cemaranya tidak datar seperti yang ada di Semeru tetapi menapaki punggungan bukit, sehingga terkesan lebih menantang. Disini kita menginap selama 2 malam, malam-malam yang kita lewati selalu ditemani dengan bulan purnama yang benderang. Setiap matahari kembali keperaduannya kita akan mendengarkan alunan nyanyian dari Merak yang bersahut-sahutan. Setiap petang dan sore hari kita juga akan berjumpa secara langsung dan begitu dekat dengan Merak Hijau, ditambah dengan pementasan Merak terbang menambah betah berlama-lama ditempat ini. Kita juga melakukan perjalanan ke danau merah serta gunung gilap dengan catatan kita tetap bermalam di Cikasur.


Setelah 2 malam di Cikasur kitapun kembali memacu langkah menuju ke Cisentor dan puncak Rengganis. Sebelum sampai dipuncak kita akan melewati perbukitan yang jalurnya cukup memberi pelajaran, melewati savana edelweis luas yang bernama Rawa embik, disinilah surga edelweish dari Argopuro. Edelweish disini berukuran “Jumbo” karena tingginya lebih tinggi daripada tubuh orang dewasa. Dipuncak rengganis kita bisa melihat bekas makam dewi Rengganis yang berada dipuncaknya. Dimana puncak ini berbentuk seperti kerajaan yang terbangun atas batu-batu. Dari puncak rengganis kita bisa melihat pemandangan manis yang disuguhkan oleh Argopuro. Setelah puas menikmati kemanisan Rengganis, kita kembali turun ke Cisentor untuk beristirahat melepas penat.

Keesokan harinya kita melangkah menuju ke sebuah danau indah yang dimiliki oleh Argopuro, Taman Hidup. Sepanjang jalan kita sama dengan perjalanan hari-hari sebelumnya, yaitu melewati perbukitan dan savana luas. Disavana pertama kita masih menikmati kepakan sayap merak terbang dan nyanyian merdunya. Sebelum sampai di Taman hidup kita akan bertemu dengan sebuah alas ang diberi nama Alas Cuek, dimana di dalam alas ini kita masih bertemu dengan Elang hitam dan burung-burung cantik lainnya. Setelah sampai di alas cuek maka kita akan melewati sumber air yang bernama “Aeng Kenik” yang berarti air kecil. Disini ada sedikit aliran sungai kecil yang dulunya airnya sebening mata bayi namun sayang tidak mengalir lagi. Tidak perlu menunggu berjam-jam untuk sampai ditaman hidup setelah melewati aeng kenik. Aku sudah membayangkan keindahan taman hidup yang dipenuhi bunga-bunga cantik dan rerumputan yang menjulang dan dermaga yang siap menopang kita ketika mengambil air disana. Namun bayangan tetaplah bayangan, kenyataan berkata lain. Air Taman hidup begitu keruh, jalan untuk menuju ke dermaga sudah becek dan banyak ranjau darat dimana-mana. Belum lagi dermaga yang sudah tak bertuan, tidak ada yang namanya bunga cantik dan rumput yang menjulang. Smuanya seolah kosong. Betapa sedih melihat keadaannya kini. Semuga secepatnya ada tindakan tegas dari pengelola untuk Argopuro, bukankah Argo masuk kedalam kawasan Suaka Margasatwa
Cukup semalam kita menginap di taman hidup, keesokan paginya kita sudah melepaskan kaki dari sana untuk kembali menikmati kebisingan kota beserta polusinya. Sama seperti hari sebelumnya, kita masih melakukan pengamatan burung sampai plot terakhir. Setelah sampai plot terakhir kita beristirahat sejenak lalu memacu derap langkah menuju desa terdekat yaitu Krucil untuk menunggu jemputan angkutan yang akan mengantarkan kita kembali ke kota Jember. Apakah sampai disini kegiatan LPH sudah selesai? Belum, kita masih melakukan identifikasi burung, pengolahan data dan banyak lagi kegiatan lainnya. Hingga kita menemukan adanya 99 jenis burung, Sayang sekali hasil LPH kali ini lebih sedikit daripada LPH 2009. LPH dan Argopuro, tidak sekedar mendaki dan mengamati, tapi memintal benang merah yg sempat sedikit kusut dirumah kita menjadi kain sutra nan elok.

Penulis : Orchid



Share: