Mendaki gunung sepertinya sudah umum dan wajar ya untuk sekarang ini.
Sekarang tidak perlu mengikuti diklatsar di sebuah organisasi pencinta
alam untuk dapat mendaki gunung. Cukup berbekal uang, karena sekarang
banyak toko yang memfasilitasi para pecandu ketinggian dengan menyewakan
alat-alat outdoor. Namun sepertinya masih belum umum kalau mendaki
tetapi bersifat konservasi atau melakukan hal yang dirasa gak penting
oleh banyak orang namun sebenarnya berpengaruh besar bagi banyak orang,
seperti pengamatan burung. Begitu pula dengan mendaki Pegunungan hyang,
Argopuro.
Yang umum saat ini yaitu membuat vandalisme di
ketinggian sana dengan cara menulis nama kita diatas batu, dipohon atau
dipos-pos pendakian, agar dibaca banyak orang yang sebenarnya akan
menimbulkan sebuah umpatan bahkan sumpah serapah dari orang-orang yang
membacanya. Sebenarnya kalau ingin membuat vandalisme yang lebih keren
daripada sekedar menuliskan nama di batu ataupun pohon bahkan di pos-pos
diketinggian sana, lebih keren dan berkelas ketika kita membuat vandal
dengan menampilkannya dalam bentuk laporan ilmiah. Aku baru
mempelajarinya dari organisasi yang aku geluti sekarang. Disini aku
belajar membuat vandal yang lebih berkelas dari sekedar membuat nama di
ketinggian sana.
Pada tahun 2013, organisasi yang aku ikuti
mengadakan sebuah acara yang cukup menarik yaitu Lintas Pegunungan
Hyang V di Pegunungan Hyang, Argopuro. Mungkin akan banyak yang
bertanya, apakah itu LPH V? LPH V yaitu kegiatan mengamati burung di
Pegunungan Hyang, Argopuro. Kenapa mesti burung yang diamati? Bukankah
burung itu susah dan kecil? Kenapa tidak mencari yang lebih besar?
Karena burung merupakan salah satu indikator lingkungan yang tersebar
luas mulai dari 0 Mdpl sampai ribuan Mdpl. Bagi yang belum pernah
melakukan pengamatan burung maka akan merasa susah dan gak penting.
Padahal kalau sudah terbiasa dan sering berinteraksi dengan hewan tampan
bersayap ini maka akan jatuh cinta dengan keelokan bulu dan tingkah
lakunya. Salah satu contohnya yaitu ketika menikmati kepakan sayap merak
hijau yang sedang terbang di Cikasur.
Kegiatan ini dimulai pada
tanggal 19 Juni 2013, dimana kita menegakkan langkah untuk melakukan
pengamatan burung dari Plot 1 Baderan sampai plot 8 Baderan. Cukup
melelahkan memang, apalagi untuk yang baru pertama kali melakukan
kegiatan pendakian gunung. Kitapun memutuskan untuk beristirahat semalam
di giras (mata air 1). Keesokan harinya langkahpun berlanjut menuju ke
savana luas yang dikelilingi oleh bukit teletubbies yang bersanding
dengan lavender ungu dan sungai qolbu, iya, Cikasur. Sepanjang jalan
yang Kita lewati adalah bukit-bukit, bahka ada yang bernama bukit cemara
karena disinilah cemara bergerombol banyak, ya kalau di Semeru maka
bisa dikatakan ini adalah Cemoro Kandang. Cuma bedanya disini cemaranya
tidak datar seperti yang ada di Semeru tetapi menapaki punggungan bukit,
sehingga terkesan lebih menantang. Disini kita menginap selama 2 malam,
malam-malam yang kita lewati selalu ditemani dengan bulan purnama yang
benderang. Setiap matahari kembali keperaduannya kita akan mendengarkan
alunan nyanyian dari Merak yang bersahut-sahutan. Setiap petang dan sore
hari kita juga akan berjumpa secara langsung dan begitu dekat dengan
Merak Hijau, ditambah dengan pementasan Merak terbang menambah betah
berlama-lama ditempat ini. Kita juga melakukan perjalanan ke danau merah
serta gunung gilap dengan catatan kita tetap bermalam di Cikasur.
Setelah 2 malam di Cikasur kitapun kembali memacu langkah menuju ke
Cisentor dan puncak Rengganis. Sebelum sampai dipuncak kita akan
melewati perbukitan yang jalurnya cukup memberi pelajaran, melewati
savana edelweis luas yang bernama Rawa embik, disinilah surga edelweish
dari Argopuro. Edelweish disini berukuran “Jumbo” karena tingginya lebih
tinggi daripada tubuh orang dewasa. Dipuncak rengganis kita bisa
melihat bekas makam dewi Rengganis yang berada dipuncaknya. Dimana
puncak ini berbentuk seperti kerajaan yang terbangun atas batu-batu.
Dari puncak rengganis kita bisa melihat pemandangan manis yang
disuguhkan oleh Argopuro. Setelah puas menikmati kemanisan Rengganis,
kita kembali turun ke Cisentor untuk beristirahat melepas penat.
Keesokan harinya kita melangkah menuju ke sebuah danau indah yang
dimiliki oleh Argopuro, Taman Hidup. Sepanjang jalan kita sama dengan
perjalanan hari-hari sebelumnya, yaitu melewati perbukitan dan savana
luas. Disavana pertama kita masih menikmati kepakan sayap merak terbang
dan nyanyian merdunya. Sebelum sampai di Taman hidup kita akan bertemu
dengan sebuah alas ang diberi nama Alas Cuek, dimana di dalam alas ini
kita masih bertemu dengan Elang hitam dan burung-burung cantik lainnya.
Setelah sampai di alas cuek maka kita akan melewati sumber air yang
bernama “Aeng Kenik” yang berarti air kecil. Disini ada sedikit aliran
sungai kecil yang dulunya airnya sebening mata bayi namun sayang tidak
mengalir lagi. Tidak perlu menunggu berjam-jam untuk sampai ditaman
hidup setelah melewati aeng kenik. Aku sudah membayangkan keindahan
taman hidup yang dipenuhi bunga-bunga cantik dan rerumputan yang
menjulang dan dermaga yang siap menopang kita ketika mengambil air
disana. Namun bayangan tetaplah bayangan, kenyataan berkata lain. Air
Taman hidup begitu keruh, jalan untuk menuju ke dermaga sudah becek dan
banyak ranjau darat dimana-mana. Belum lagi dermaga yang sudah tak
bertuan, tidak ada yang namanya bunga cantik dan rumput yang menjulang.
Smuanya seolah kosong. Betapa sedih melihat keadaannya kini. Semuga
secepatnya ada tindakan tegas dari pengelola untuk Argopuro, bukankah
Argo masuk kedalam kawasan Suaka Margasatwa
Cukup semalam kita
menginap di taman hidup, keesokan paginya kita sudah melepaskan kaki
dari sana untuk kembali menikmati kebisingan kota beserta polusinya.
Sama seperti hari sebelumnya, kita masih melakukan pengamatan burung
sampai plot terakhir. Setelah sampai plot terakhir kita beristirahat
sejenak lalu memacu derap langkah menuju desa terdekat yaitu Krucil
untuk menunggu jemputan angkutan yang akan mengantarkan kita kembali ke
kota Jember. Apakah sampai disini kegiatan LPH sudah selesai? Belum,
kita masih melakukan identifikasi burung, pengolahan data dan banyak
lagi kegiatan lainnya. Hingga kita menemukan adanya 99 jenis burung, Sayang sekali hasil LPH kali ini
lebih sedikit daripada LPH 2009. LPH dan Argopuro, tidak sekedar
mendaki dan mengamati, tapi memintal benang merah yg sempat sedikit
kusut dirumah kita menjadi kain sutra nan elok.
Penulis : Orchid