Jumat, 22 Mei 2015

 

Secuil‬ ‪Kisah‬ ‪Argopuro‬ ‪dan‬ ‪LPH‬ ‪V‬


Mendaki gunung sepertinya sudah umum dan wajar ya untuk sekarang ini. Sekarang tidak perlu mengikuti diklatsar di sebuah organisasi pencinta alam untuk dapat mendaki gunung. Cukup berbekal uang, karena sekarang banyak toko yang memfasilitasi para pecandu ketinggian dengan menyewakan alat-alat outdoor. Namun sepertinya masih belum umum kalau mendaki tetapi bersifat konservasi atau melakukan hal yang dirasa gak penting oleh banyak orang namun sebenarnya berpengaruh besar bagi banyak orang, seperti pengamatan burung. Begitu pula dengan mendaki Pegunungan hyang, Argopuro.

Yang umum saat ini yaitu membuat vandalisme di ketinggian sana dengan cara menulis nama kita diatas batu, dipohon atau dipos-pos pendakian, agar dibaca banyak orang yang sebenarnya akan menimbulkan sebuah umpatan bahkan sumpah serapah dari orang-orang yang membacanya. Sebenarnya kalau ingin membuat vandalisme yang lebih keren daripada sekedar menuliskan nama di batu ataupun pohon bahkan di pos-pos diketinggian sana, lebih keren dan berkelas ketika kita membuat vandal dengan menampilkannya dalam bentuk laporan ilmiah. Aku baru mempelajarinya dari organisasi yang aku geluti sekarang. Disini aku belajar membuat vandal yang lebih berkelas dari sekedar membuat nama di ketinggian sana.

Pada tahun 2013, organisasi yang aku ikuti mengadakan sebuah acara yang cukup menarik yaitu Lintas Pegunungan Hyang V di Pegunungan Hyang, Argopuro. Mungkin akan banyak yang bertanya, apakah itu LPH V? LPH V yaitu kegiatan mengamati burung di Pegunungan Hyang, Argopuro. Kenapa mesti burung yang diamati? Bukankah burung itu susah dan kecil? Kenapa tidak mencari yang lebih besar? Karena burung merupakan salah satu indikator lingkungan yang tersebar luas mulai dari 0 Mdpl sampai ribuan Mdpl. Bagi yang belum pernah melakukan pengamatan burung maka akan merasa susah dan gak penting. Padahal kalau sudah terbiasa dan sering berinteraksi dengan hewan tampan bersayap ini maka akan jatuh cinta dengan keelokan bulu dan tingkah lakunya. Salah satu contohnya yaitu ketika menikmati kepakan sayap merak hijau yang sedang terbang di Cikasur.

Kegiatan ini dimulai pada tanggal 19 Juni 2013, dimana kita menegakkan langkah untuk melakukan pengamatan burung dari Plot 1 Baderan sampai plot 8 Baderan. Cukup melelahkan memang, apalagi untuk yang baru pertama kali melakukan kegiatan pendakian gunung. Kitapun memutuskan untuk beristirahat semalam di giras (mata air 1). Keesokan harinya langkahpun berlanjut menuju ke savana luas yang dikelilingi oleh bukit teletubbies yang bersanding dengan lavender ungu dan sungai qolbu, iya, Cikasur. Sepanjang jalan yang Kita lewati adalah bukit-bukit, bahka ada yang bernama bukit cemara karena disinilah cemara bergerombol banyak, ya kalau di Semeru maka bisa dikatakan ini adalah Cemoro Kandang. Cuma bedanya disini cemaranya tidak datar seperti yang ada di Semeru tetapi menapaki punggungan bukit, sehingga terkesan lebih menantang. Disini kita menginap selama 2 malam, malam-malam yang kita lewati selalu ditemani dengan bulan purnama yang benderang. Setiap matahari kembali keperaduannya kita akan mendengarkan alunan nyanyian dari Merak yang bersahut-sahutan. Setiap petang dan sore hari kita juga akan berjumpa secara langsung dan begitu dekat dengan Merak Hijau, ditambah dengan pementasan Merak terbang menambah betah berlama-lama ditempat ini. Kita juga melakukan perjalanan ke danau merah serta gunung gilap dengan catatan kita tetap bermalam di Cikasur.


Setelah 2 malam di Cikasur kitapun kembali memacu langkah menuju ke Cisentor dan puncak Rengganis. Sebelum sampai dipuncak kita akan melewati perbukitan yang jalurnya cukup memberi pelajaran, melewati savana edelweis luas yang bernama Rawa embik, disinilah surga edelweish dari Argopuro. Edelweish disini berukuran “Jumbo” karena tingginya lebih tinggi daripada tubuh orang dewasa. Dipuncak rengganis kita bisa melihat bekas makam dewi Rengganis yang berada dipuncaknya. Dimana puncak ini berbentuk seperti kerajaan yang terbangun atas batu-batu. Dari puncak rengganis kita bisa melihat pemandangan manis yang disuguhkan oleh Argopuro. Setelah puas menikmati kemanisan Rengganis, kita kembali turun ke Cisentor untuk beristirahat melepas penat.

Keesokan harinya kita melangkah menuju ke sebuah danau indah yang dimiliki oleh Argopuro, Taman Hidup. Sepanjang jalan kita sama dengan perjalanan hari-hari sebelumnya, yaitu melewati perbukitan dan savana luas. Disavana pertama kita masih menikmati kepakan sayap merak terbang dan nyanyian merdunya. Sebelum sampai di Taman hidup kita akan bertemu dengan sebuah alas ang diberi nama Alas Cuek, dimana di dalam alas ini kita masih bertemu dengan Elang hitam dan burung-burung cantik lainnya. Setelah sampai di alas cuek maka kita akan melewati sumber air yang bernama “Aeng Kenik” yang berarti air kecil. Disini ada sedikit aliran sungai kecil yang dulunya airnya sebening mata bayi namun sayang tidak mengalir lagi. Tidak perlu menunggu berjam-jam untuk sampai ditaman hidup setelah melewati aeng kenik. Aku sudah membayangkan keindahan taman hidup yang dipenuhi bunga-bunga cantik dan rerumputan yang menjulang dan dermaga yang siap menopang kita ketika mengambil air disana. Namun bayangan tetaplah bayangan, kenyataan berkata lain. Air Taman hidup begitu keruh, jalan untuk menuju ke dermaga sudah becek dan banyak ranjau darat dimana-mana. Belum lagi dermaga yang sudah tak bertuan, tidak ada yang namanya bunga cantik dan rumput yang menjulang. Smuanya seolah kosong. Betapa sedih melihat keadaannya kini. Semuga secepatnya ada tindakan tegas dari pengelola untuk Argopuro, bukankah Argo masuk kedalam kawasan Suaka Margasatwa
Cukup semalam kita menginap di taman hidup, keesokan paginya kita sudah melepaskan kaki dari sana untuk kembali menikmati kebisingan kota beserta polusinya. Sama seperti hari sebelumnya, kita masih melakukan pengamatan burung sampai plot terakhir. Setelah sampai plot terakhir kita beristirahat sejenak lalu memacu derap langkah menuju desa terdekat yaitu Krucil untuk menunggu jemputan angkutan yang akan mengantarkan kita kembali ke kota Jember. Apakah sampai disini kegiatan LPH sudah selesai? Belum, kita masih melakukan identifikasi burung, pengolahan data dan banyak lagi kegiatan lainnya. Hingga kita menemukan adanya 99 jenis burung, Sayang sekali hasil LPH kali ini lebih sedikit daripada LPH 2009. LPH dan Argopuro, tidak sekedar mendaki dan mengamati, tapi memintal benang merah yg sempat sedikit kusut dirumah kita menjadi kain sutra nan elok.

Penulis : Orchid



Share:

1 komentar:

  1. Vandalisme adalah..??? Vandal adalah.?? saya kok jadi bingung bacanya.. Tolong di revisi.!!

    BalasHapus